Minggu, 30 Juni 2013

Aku Bertemu Dengannya Di Masjid Siang Itu

Siang itu,, slesai sholat di masjid daerah tengah kota surabaya lepas dzuhur.. seorang prempuan jg istirahat, tersenyum dan duduk sendiri, ku ucapkan salam, sambil menyapa dan sampai pula pada pertanyaan.... “mbak sudah menikah?”. “sudah”, jawabnya. Kemudian saya bertanya lagi..

“Mbak menunggu siapa?”......  “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya

“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, yg sudah nikah seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.

“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena ini salah satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran... saya sedih tapi senyumnya masih tersisa
dhek, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa membuat... saya lebih lega..

“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai OB di sebuah bank. Kami menikah sudah 3taon, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.

Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari itu lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali dhek. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “ayah, saya pusing , ambil sendiri ya”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa ayah mengerjakan semua ini? Bukankah ayah juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap ayah sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan suami saya.”

Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.

“adhek tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 800rb-1jt / bulan. 7x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memenuhi kebutuhan hidup kami meski di hemat, dan setiap kali membeli sesuatu, suami berkata ini rezeki dari Allah. Dihemat. Buat keperluan kita, mudah-mudahanberkah, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada sebagian kecil yang diberikan suami saya”, lanjutnya

“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara...

“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih dhek,,, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”

Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa ada wanita yg saya kenal bisa seperti dia? meski ibuku ikhlas..Menerima sosok suami seperti ayahku yg apa adanya, tp tidak seperti...dia

“Nak, kamu itu harus memikirkan masa depan. kalian kerja juga untuk keluarga. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kamu malah pengen berhenti kerja. Suami mu pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami mu pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kamu juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama sarjana muda itu yang berniat melamar mu duluan sebelum sama yang ini. Tapi kamu lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 3 orang anak menantu, Cuma suami mu yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami mu itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja  saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami mu itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan orang tua saat dimintai pendapat.

“adhek tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan orang tua saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa menyuruh sholat setiap saat waktunya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan.


Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya pendapatan suami demi keberkahan. Saya bangga dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menghidupi keluarga dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika adhek mempunyai saudara perempuan yg mendapatkan suami seperti saya, tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suaminya pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang lelaki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. wajah seorang suami yang begitu bahagia memperoleh istri yg sholehah....

Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku terus berdoa.... agar perempuan disekitarku (ibu, saudara perempuanku, istri, anak perempuanku) dijadikan wanita sholehah...

Subhanallah.......
Semoga pekerjaan, harta, dan yg diselimuti kain ini tak pernah menghalangiku untuk beribadah padanya...

Tidak ada komentar: